Kristus dan Virus CoronaSampel
Batu Karang Itu Benar
Jika Allah hendak menjadi Batu Karang kita, Ia haruslah benar. Batu Karang yang tidak benar hanyalah khayalan. Hal yang diguncangkan oleh pandemi global saat ini adalah keyakinan bahwa Allah itu benar, kudus, dan baik. Jika Allah tidak benar di dalam pandemi, maka kita tidak memiliki Batu Karang.
Maka, kita perlu bertanya, Apa itu kekudusan, kebenaran, dan kebaikan Allah? Jika kita tidak tahu apa arti dari semuanya ini, bagaimana mungkin kita bisa tahu apakah wabah virus Corona telah meruntuhkannya? Atau, sebaliknya, bagaimana kita bisa tahu apakah dasar yang kekal dari Batu Karang telah menyelamatkan kita?
Apa yang akan kita lihat adalah bahwa Alkitab menggambarkan kekudusan, kebenaran, dan kebaikan Allah tidak sama, tetapi saling terkait. Kita mulai dengan kekudusan Allah. Apa itu kekudusan?
Nilai yang Transenden dan Tidak Terhingga
Akar dari kata kudus di dalam Perjanjian Lama adalah terpisah—berbeda dan dipisahkan dari yang biasa. Ketika diterapkan kepada Allah, keterpisahan ini mengimplikasikan bahwa Ia berada dalam kategori yang berbeda. Ia seperti berlian yang satu-satunya, yang amat berharga. Kita dapat menggunakan kata transenden untuk menjelaskan keterpisahan ilahi ini. Ia begitu unik dan terpisah sehingga Ia melampaui semua realitas yang lain. Ia berada di atasnya dan jauh lebih berharga dari semuanya.
Ketika Musa memukul batu karang yang ditunjuk Allah, bukan berbicara kepadanya sebagaimana diperintahkan-Nya, Allah menegurnya. “Kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel” (Bil. 20:12). Dengan kata lain, Musa telah memperlakukan Allah bukan sebagai sosok yang benar-benar dapat dipercaya, melainkan sama dengan otoritas manusia yang dapat diabaikan.
Atau, di dalam Yesaya 8:12-13, Allah berfirman kepada Yesaya, “Apa yang mereka takuti janganlah kamu takuti dan janganlah gentar melihatnya. Tetapi TUHAN semesta alam, Dialah yang harus kamu akui sebagai Yang Kudus; kepada-Nyalah harus kamu takut dan terhadap Dialah harus kamu gentar.” Dengan kata lain, jangan memasukkan Allah ke dalam kategori yang sama dengan ketakutan dan kegentaran Anda yang lain. Perlakukan Dia sebagai sumber ketakutan dan kegentaran yang benar-benar terpisah dan unik—yang trasnsenden.
Karena itu, kekudusan Allah adalah atribut transenden dan nilai-Nya yang jauh melampaui segala sesuatu. Ia berada dalam kategori yang terpisah. Itu berarti, keberadaan-Nya tidak bergantung pada apapun. Ia ada dengan sendirinya. Ia tidak memerlukan apapun atau bergantung pada apapun. Ia lengkap; sempurna. Karena itu, ia memiliki nilai yang terbesar sebagai sumber segala realitas dan nilai.
Di atas Segalanya tetapi Tidak Sendirian
Derajat ketinggian Allah yang tidak terhingga di atas semua realitas yang lain ini tidak berarti bahwa Ia menyendiri dan tidak memiliki kasih. Doktrin Allah Tritunggal meresap di seluruh Alkitab. Allah hadir sebagai tiga Pribadi, tetapi satu esensi. Hanya ada satu Allah, bukan tiga. Namun, Allah yang satu ini hadir di dalam kesatuan yang misterius, Bapa, Anak, dan Roh Kudus—masing-masing bersifat kekal dan tanpa permulaan. Masing-masing adalah Allah.
Maka, kekudusan Allah—nilai dan keagungan Allah yang transenden—tidak berarti bahwa Ia menyendiri dan tidak menunjukkan kasih di dalam ketinggian-Nya. Allah Bapa mengenal dan mengasihi sang Anak secara sempurna, lengkap, dan tidak terhingga (Mrk. 1:11; 9:7; Kol. 1:13). Allah Anak mengenal dan mengasihi Bapa secara sempurna, lengkap, dan tidak terhingga (Yoh. 14:31). Roh Kudus adalah ungkapan pengenalan dan kasih antara Allah dan Anak secara sempurna, lengkap, dan tidak terhingga.
Kekudusan Saling Terkait dengan Kebenaran
Ada sebuah dimensi yang hilang dari gambaran kekudusan Allah. Alkitab berbicara tentang kekudusan Allah bukan hanya dalam pengertian transenden, tetapi juga dalam hal moralitas. Menjadi kudus bukan hanya berarti terpisah dan transenden, tetapi juga benar.
Ini memunculkan sebuah pertanyaan yang akan berdampak besar terhadap cara kita memandang virus Corona dalam kaitannya dengan Allah. Jika kebenaran mengimplikasikan tindakan melakukan apa yang benar, dan melakukan apa yang benar mengimplikasikan ketundukan kepada standar kebenaran, maka standar apa yang dituruti oleh kebenaran Allah?
Sebelum Penciptaan, tidak ada standar di luar Allah. Tidak ada sesuatu di luar Allah yang kepadanya Ia harus menyelaraskan diri. Sebelum Penciptaan, Allah adalah satu-satunya realitas. Jadi, bila hanya ada satu Allah, bagaimana Anda mendefinisikan apa yang benar untuk dilakukan Allah? Artinya, bagaimana caranya kekudusan Allah tidak hanya mencakup sifat transenden-Nya tetapi juga kebenaran-Nya?
Jawabannya adalah bahwa standar kebenaran Allah adalah Allah sendiri. Prinsip Alkitab yang mendasar adalah ini: “Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya” (2Tim. 2:13). Ia tidak dapat bertindak sedemikian hingga Ia menyangkali nilai, keindahan, dan keagungan-Nya sendiri yang tidak terhingga. Ini adalah standar dari apa itu kebenaran bagi Allah.
Ini berarti bahwa dimensi moral kekudusan Allah—kebenaran-Nya—adalah komitmen-Nya yang tidak terguncangkan untuk bertindak sesuai dengan nilai, keindahan, dan keagungan-Nya. Setiap perasaan, pikiran, perkataan, dan tindakan Allah selalu konsisten dengan nilai dan keindahan dari kepenuhan-Nya yang transenden. Jika Allah menyangkali nilai, keindahan, dan keagungan ini, maka itu tidak benar. Standar yang terutama dilanggar dan Ia menjadi tidak benar.
Kebenaran Saling Terkait dengan Kebaikan
Kebaikan Allah tidak sama dengan kekudusan atau kebenaran-Nya. Namun, keduanya saling terkait dalam arti bahwa kekudusan-Nya mengalir di dalam kebaikan-Nya, dan kebenaran-Nya memimpin pemberian karunia-Nya. Keduanya tidak pernah saling bertentangan.
Kebaikan Allah adalah kecenderungan-Nya bermurah hati—memberkati umat manusia. Kepenuhan Allah yang transenden dan kesempurnaan-Nya—yaitu, kekudusan-Nya—ibarat mata air yang mengalir. Itulah sebabnya Ia cenderung murah hati. Allah tidak memerlukan apapun. Karena itu, Ia tidak pernah mengeksploitasi yang lain untuk mengisi kekurangan yang Ia miliki. Sebaliknya, dorongan alami-Nya adalah memberi, bukan memperoleh. “[Ia] juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang” (Kis. 17:25).
Namun, kebaikan-Nya tidak terlepas dari kebenaran-Nya. Kebaikan-Nya tidak dikaruniakan dengan cara yang menyangkal nilai, keindahan, dan keagungan-Nya yang tidak terhingga. Itulah sebabnya kebenaran Allah mengandung penghukuman terakhir dan kebaikan. Ketika Allah menghukum orang-orang berdosa yang tidak bertobat di neraka, Ia tidak mengaruniakan kebaikan-Nya kepada mereka. Meski demikian, Ia tidak berhenti menjadi baik. Kekudusan dan kebenaran-Nya mengatur pengaruniaan kebaikan-Nya.
Itulah sebabnya kebaikan-Nya mengalir terutama kepada mereka yang takut dan berlindung kepada-Nya. “Alangkah limpahnya kebaikan-Mu yang telah Kausimpan bagi orang yang takut akan Engkau, yang telah Kaulakukan bagi orang yang berlindung pada-Mu, di hadapan manusia!” (Mzm. 31:19).
Rasa hormat dan iman ini tidak menimbulkan kebaikan Allah. Orang-orang berdosa yang fana dan bergantung sepenuhnya bergantung kepada Allah tidak dapat menghasilkan sesuatu dari Allah. Kebaikan Allah kepada orang-orang berdosa selalu gratis dan tidak layak mereka dapatkah. Lantas, mengapa Allah lebih menunjukkan kebaikan-Nya yang berlimpah kepada mereka yang takut dan berlindung kepada-Nya? Itu karena penghormatan dan iman menunjukkan nilai, keindahan, dan keagungan Allah (Rm. 4:20). Jadi, kebenaran Allah menggerakkan mereka untuk menunjukkan sikap menghormati Allah itu.
Bagaimana dengan Virus Corona?
Pada bab berikutnya, kita akan beralih kepada kedaulatan Allah yang mahatahu dan mengatur segala sesuatu. Namun, apa yang telah kita lihat di sini akan menahan kita dari melompat kepada kesimpulan bahwa jari-jari Allah pada virus Corona membatalkan kekudusan, kebenaran, atau kebaikan-Nya. Kita tidak akan begitu naif mengaitkan penderitaan manusia dengan kesalahan Allah, atau menyimpulkan bahwa Allah berhenti menjadi kudus atau baik ketika Ia mengatur dunia-Nya.
Kita semua adalah orang-orang yang berdosa; tidak terkecuali. Kita telah mengganti nilai, keindahan, dan keagungan Allah yang mulia dengan hal-hal lain yang lebih kita nikmati (Rm. 1:23; 3:23). Ini adalah penghinaan terhadap Allah, entah kita menyadarinya atau tidak. Karena itu, kita layak dihukum. Penghinaan kita atas kemuliaan Allah membuat kita menjadi objek dari murka Allah. Alkitab berkata bahwa kita “pada dasarnya . . . adalah orang-orang yang harus dimurkai” (Ef. 2:3). Itu berarti, adalah kudus dan benar bila Allah menahan kebaikan-Nya dari kita. Karena itu, virus Corona tidak menunjuk kepada kecemaran, kesalahan, atau kejahatan Allah. Pada masa-masa sukar ini, Batu Karang kita tidak salah. Ia tidak cemar. “Tidak ada yang kudus seperti TUHAN . . . tidak ada gunung batu seperti Allah kita” (1Sam. 2:2). Batu Karang kita bukanlah sebuah khayalan.
Firman Tuhan, Alkitab
Tentang Rencana ini
Ini adalah waktu ketika dunia merasa rapuh. Dasar-dasarnya yang selama ini tampak kokoh, berguncang. Pertanyaannya, Apakah ada Batu Karang yang menjadi pijakan kita; sebuah Batu Karang yang tidak dapat diguncangkan selamanya?
More
Kami mengucapkan terima kasih kepada Literatur Perkantas Jawa Timur yang telah menyediakan rencana ini. Untuk informasi lebih lanjut, silakan mengunjungi: http://corona.literaturperkantas.com/