INTERUPSI

“Tetapi jawab perwira itu kepada-Nya: "Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh” (Matius 8:8)

Profesional, saya punya seorang teman yang kuliah di University of Notre Dame. Suatu kali saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi kampusnya. Gedungnya tua, tetapi megah. Henri J. Nouwer, di dalam bukunya Out of Solitude, pernah menceritakan tentang seorang profesor tua yang mengajar di salah satu kampus Notre Dame. Guru besar itu menceritakan tentang pengalamannya mengajar. ”Selama ini saya selalu mengeluh jika pekerjaan saya diinterupsi orang,” ujarnya,”tetapi setelah saya renungkan dalam-dalam, saya mengerti bahwa orang-orang yang menginterupsi itulah yang menjadi pekerjaan saya.”

Hal yang sama saya alami. Suatu kali seorang teman mengundang saya di dalam acara pengukuhannya sebagai Guru Besar. Setelah mengantarkan anak saya ke sekolah, saya segera meluncur ke kampus. Saya baru menulis di buku absen dan mengobrol dengan teman-teman kuliah saya dulu, tiba-tiba saya HP saya bergetar. Isinya, meminta saya segera kembali untuk mengajar karena pengajar yang harusnya bertugas tiba-tiba terserang sakit perut. Saya segera ke ruang senat, menyalami rektor kampus itu, menyalami teman saya yang sudah memakai pakaian kebesarannya dan pamit pulang.

Profesional, semua mata memandang saya dan merasa heran. Saya baru saja duduk sudah pulang, bahkan sebelum acara dimulai. Namun, jika saya melihat ke-penting-annya, saya tahu bahwa kehadiran saya di kelas jauh lebih dipentingkan ketimbang kehadiran saya di auditorium kampus itu. Toh saya sudah mengucapkan selamat kepada teman saya itu. Ketika saya pamit, dia pun berkata, ”Lain kali kita masih bisa mengobrol lagi!” 

Doa: Bapa, aku sungguh mengucap syukur karena Engkau mau dan rela untuk diinterupsi. Engkau bahkan menunjukkan belas kasih-Mu yang terdalam.